Tips : Memenangkan Rasa Bahagia Saat Diuji

Assalamualaikum 🙂

Taqabbalallahu minna wa minkum, Minal ‘aidin wal faizin

Alhamdulillah, lebaran tahun ini, saya mendapat pengalaman yang mungkin tidak semua orang dapatkan. Bahkan dalam angan-angan sekalipun. Tapi pengalaman ini menjadi semacam pencerahan bagi jiwa saya,bahwa apa yang manusia rencanakan, tidak lebih dari sekedar harapan yang dibentuk sendiri, sementara kenyataan adalah hak prerogatif Sang Pencipta.

Ya, menjelang akhir ramadan, tidak disangka-sangka, suami saya jatuh sakit. Saya tidak pernah curiga, kalau 2 minggu sebelum sakitnya itu, keluhan-keluhan seperti linu, nyeri badan, sakit kepala, adalah tanda-tandanya. Saya pikir dia cuma kelelahan karena energinya begitu banyak terkuras setelah menjadi ketua panitia pembangunan masjid. Saya pikir pijitan sayang saya ampuh untuk meredakan linu-linunya, ternyata nggak ngaruh tuh hehehe.

Karena sementara ini kami tinggal berjauhan, saya tidak sepenuhnya memantau kondisinya setiap hari. Sampai akhirnya, dia SMS kalau badannya semakin nyeri, demam, lidah terasa pahit, sakit kepala, disertai mual muntah. Dokter yang memeriksa hanya mendiagnosa efek kurang istirahat. Saya langsung pesan travel untuk ‘pulang kampung’, walau jadwal libur kantor adalah H-1 lebaran.

Sampai rumah, saya mendapati badan suami panas sekali. Wajahnya pucat, bibirnya kering pecah-pecah, duh nggak tega saya. Untuk ngomong saja, saya harus menempelkan telinga saya ke pipinya supaya mendengar dengan jelas. Waktu saya suapi bubur, hanya habis beberapa sendok. Setelah itu beberapa potong buah naga dan anggur. Dan pada akhirnya dimuntahkan semua. Makin malam, kondisinya makin parah. Tidurnya gelisah. Saya berusaha meredam sakitnya dengan memeluknya. Dia bilang, perutnya seperti diaduk-aduk, berjalan terasa melayang. Mual muntahnya makin sering. Saya tidak langsung menyarankan opname, karena saya tahu sifatnya. Saya hanya menyindir, kalau saya ada diposisinya, pasti orang terdekat saya akan menyarankan untuk diinfus untuk membantu mengganti cairan yang hilang. Saya pikir kata-kata itu lebih halus hehe.. Tapi beruntung, suami saya mau mengukur kekuatan tubuhnya dan secara sadar minta diopname. Di satu sisi saya ingin menangis, tapi di satu sisi saya juga lebih tenang, perawatan medis akan jauh lebih baik dibanding perawatan saya. Yang jelas, penyakitnya akan lebih mudah diketahui setelah ada tindakan medis.

Hari pertama di rumah sakit, walau lemah, tapi kondisinya terlihat jauh lebih baik. Demamnya sudah turun,walau sempat muntah sekali. Sewaktu diperiksa nadinya juga lemah. Sampai raut wajah perawat yang memeriksa terlihat khawatir. Ada penurunan trombosit yang harusnya 150 ribu (normal) tapi hanya 107 ribu, ada pembengkakan liver. Sementara diduga karena kondisi kelelahan. Tapi dalam hati saya berbisik, jangan-jangan suami kena Demam Berdarah Dengue (DBD). Gejalanya mirip dengan apa yang dialami kakak perempuan saya. Tapi saya buang jauh-jauh pikiran itu. Lagipula kena dimana, ditempat saya atau di rumah suami? Sepertinya belakangan tidak ada kasus DBD di kedua wilayah itu. Suami tidak mengijinkan saya menginap di rumah sakit. Mengingat kondisi saya yang sedang hamil. Saya hanya memantau suami lewat SMS yang rutin dia kirimkan. Hari kedua, suami SMS sudah diperiksa dokter spesialis, dan dinyatakan positif DBD. Saya berusaha tenang. Panik tidak akan membuat suami saya sembuh. Saya segera mencari bantuan kerabat untuk mencari jambu biji merah sebanyak-banyaknya untuk dibikin jus. Mencari informasi kesana kemari tentang cara menaikkan trombosit. Salah satunya dengan obat herbal angkak, semacam beras merah yang sudah difermentasi.

Saya lupa hari, tapi SMS suami membuat saya makin tidak karuan. Dia mengalami insomnia parah. Sehingga saya memutuskan untuk menginap di RS, walau mertua kurang berkenan hehehe. Kata suami, dia sebenarnya mengantuk, tapi kakinya seperti tidak mau diajak diam, maunya jalan-jalan. Agak ganjil memang, Tapi beberapa kali saya yang sudah terkantuk-kantuk bahkan terlelap dibangunkan sekedar untuk memijat pinggangnya atau mengelus punggungnya. Itu nyaris sepanjang malam hingga subuh.

H-1 lebaran, kami sangat optimis bisa pulang ke rumah karena, trombosit suami sudah naik 5000. Setelah drop dari 57 ribu menjadi 50 ribu. Kemudian bisa naik menjadi 55 ribu. Tapi ternyata trombosit yang sempat naik itu, turun lagi menjadi 47 ribu. Yang bikin saya lemas, suami juga mimisan, walau tidak banyak. Perawat langsung konsultasi dokter dan segera memberi suntikan untuk menghentikan pendarahan. Dikhawatirkan ada pembuluh darah yang pecah 😦

Keputusan dokter sepertinya tidak bisa diganggu gugat, suami tidak diperbolehkan pulang jika trombositnya tidak naik sampai minimal 100 ribu. Suami memang merasa sudah enakan, makan doyan, tidak mual, tidak lemas, tapi dokter bilang justru itu kondisi yang menipu. Disaat pasien merasa kondisinya membaik, tapi sebenarnya itu saat-saat yang kritis. Psien bisa drop kapan saja. Jadi jangan terlena, apalagi trombositnya belum ada peningkatan. karena dokternya cantik (kata suami saya), suami saya nurut banget hahaha (dezigg).

Hingga malam lebaran, trombosit suami masih bertahan 70 ribu saja. Sedangkan pasien lainnya memaksa pulang demi lebaran di rumah. Keluarga mereka rela menandatangani surat pernyataan di atas materai, sehingga jika terjadi apa-apa, itu sudah di luar tanggung jawab rumah sakit. Saya tidak mau seperti itu, biarlah, kesehatan suami saya jauhhhhhhhhhh lebih penting. Sedih pasti, tidak bisa berlebaran di rumah. Kumpul dengan kluarga. Tapi bukankah akan lebih sedih jika nantinya hidup dipenuhi penyesalan setelah membuat keputusan ceroboh yang membahayakan nyawa?

BERSAMBUNG…