November yang basah…
Langit menelan bintang. Remang cahaya koridor pamulasaran jenasah RSUD Margono Soekardjo Purwokerto bersenyawa dengan hawa dingin yang berkesiur. Menusuk sampai ke jangat. Di dalam kamar itu, ada duka sebuah keluarga. Ruh yang tersayang telah berpisah dari jasadnya. Wajib ditangisi. Dan besok pagi, akan segera menjadi headline surat kabarku sebagai korban tragedi pembunuhan. Di sebuah klub malam, laki-laki yang sedang ditangisi itu meregang nyawa. Ususnya terburai.Diduga ditusuk oknum polisi yang mabuk.
Tapi di belakang kamar itu, ada suka seorang pecinta. Itu aku. Ketika malam semakin tua, ketika kamar jenazah makin ramai polisi, jurnalis, dokter dan orang-orang yang tak kuketahui jabatannya. Aku memilih duniaku sendiri. Menyudut di koridor. Memasang earphone. Lalu gendang telingaku menangkap suara dari alat mungil itu. Suara seseorang yang paling kurindukan.Suaranya mewakili raganya yang teramat jauh. Suaranya adalah beludru. Madu. Aku tersedot dari dunia nyata.
Mungkin matamu yang kecil semakin menyipit saat tahu aku sedang bekerja. Suaramu berlapis kecewa. Buru-buru kukatakan bahwa pekerjaan bisa menunggu. Kamu mendesah, mengaku tak bisa lagi menahan diri untuk menyampaikan enam kata yang terpenting dalam hidupmu. Entahlah kenapa harus enam kata.
“Jika menggenggam tanganku mampu menentramkanmu…genggamlah,” suaramu terdengar dipenuhi ombak. Memantul bergemuruh.
Dilepaskannya enam kata itu. Tapi aku mendadak dungu. Rasanya,lebih mudah menulis hasil otopsi jenazah pria klub malam tadi. Kuminta kau menyederhanakannya, karena aku adalah si dungu.
“Aku diserang sebaris getaran hangat yang jika boleh kusebut kecenderungan perasaan melebihi perasahabatan. Itu telah membuat noda yang indah. Rindu yang bermuara padamu. Apakah kita memiliki perasaan yang sama?” kau tidak menjelaskan, tapi bertanya.
Tenggorokanku seperti dibedaki bumbu cabai. Tersedak nyaris menangis. Ya,aku bosan berteka-teki tentang makna senyum, tatapan dan perlindungan yang kau angsurkan. Melewati pergantian detik dengan mendekap rindu yang tak biasa itu adalah perasaan terhebat dalam hidupku ketika bersamamu. Rindu yang berarak seperti langkah pengantin..Pelan namun tiap pijakannya dipenuhi harapan.
“Kita harus bagaimana?” Aku tiba-tiba menjelma menjadi lugu.
“Dia telah hadir. Jadi biarkan dia. Tidak ada yang tahu bagaimana esok akan melukisnya,” katamu lagi. Pipiku seperti disengat aliran arus pendek sesaat.
Perasaan yang sama. Rindu yang sama. Kecenderungan yang sama. Aku mencatatnya bagai pahatan paku di pualam. Sebelum suaranya terpaksa berakhir karena malam seperti tak sabar untuk segera menggelincirkan matahari.
“Aku merindukanmu,” Kuputus urat malu ku. Mendahului, sebelum suaranya benar-benar hilang. Kau membalasnya serupa tapi tak sama. Lebih beludru, lebih dari madu….
Suaramu tak ada lagi. Earphone masih terpasang satu. Yang satu jatuh lunglai di sebelah leherku. Baru terasa jika kamar jenazah tempatku berteduh, ada di separuh dunia dari dunia yang kau pijaki saat ini. Tapi meski jarak pandang tak mungkin lagi dikilan menggunakan jari, hatimu terasa dekat. Seperti bara api yang menawarkan pijaran hangat,. Bukan kobaran api yang membakar. Kalau aku mampu, aku ingin menghitung langkah yang kulalui, sebelum berpisah tatap mata denganmu sepekan lalu, Sebelum burung bermesin itu membawamu terbang. Karena setiap incinya, kenangan tentangmu ikut melekat pada debu yang beruntaian di sekitarku. Pada jalanan yang tersendat,pada waktu yang merambat, semua ingin menahanku pada detik dimana retina kita saling menangkap bayangan masng-masing, dan membuat simpul-simpul syaraf optiknya bekerja lebih dari biasanya. Aku ingin memasukkan lebih banyak memori, sebanyak-banyaknya dengan bantuan retinaku yang sudah agak renta ini. Bahkan sudut kemiringan senyummupun sangat ingin aku hitung, karena aku ingin mengabadikanmu.
Apa yang kugambarkan ini hanya secuil dari rasa yang menggelepar di dalam. Aku tidak bisa menukilnya semua. Aku takut, semakin ku goreskan dalam abjad-abjad buatan manusia, justru meranggas karena luar biasa gersang maknanya. Biar dia bernyanyi dan mengoceh di dalam sana. Entah itu pada otak, jantung atau hati. Aku tidak tahu mana yang lebih tepat. Ku rasa di dalam diriku ada jiwa yang telah kau tempati. Tapi aku tidak bisa menyebut tempatnya di otak, jantung atau hati. Biarlah dia bebas menentukannya sendiri.
Kamar jenazah mulai sepi. Tangisan sudah dikemas. Seperti aku mengemas perkakas pencarian berita yang juga sudah usai. Semua telah lengkap. Seperti hatiku yang terasa lebih genap karenamu. Aku beranjak meninggalkan kamar bercat putih gading yang bakal jadi sejarahku itu. Sembari menikmati langit malam dengan pikiran kosong tanpa penilaian. Karena hatiku lebih asyik bergerak-gerak atau mungkin jantungku yang melompat-lompat. Aku sangat menyukai perasaan semacam ini, hangat sekali. Tak lupa aku menyampaikan rasaku pada udara, jika tanganku sebenarnya sudah lelah mencari kait untuk melengkungkan jemarinya. Kalau itu benar kamu, sungguh aku benar-benar memintamu berteman dengan kelingkingku? Aku tak berani lebih. cuma kelingking saja meski kau menawarkan sebuah genggaman.
Esoknya, sampai semburat pagi melahirkan matahari, mataku masih menyala. seperti takut menukar kenyataan dengan mimpi. Seperti tidak ingin beranjak dari koridor di belakang kamar jenazah dimana suaramu menggema sendirian di telingaku.
Aku,di kamarku, dengan mulut ternganga dan tangan yang terjaga masih sibuk menepuk-nepuk pipi. Meyakinkan diri bahwa kau sudah mengejawantah sebagai pemilik hati.
Selamat hari lahir, mas,,,”kita harus saling mengingatkan, menguatkan mendoakan, agar selalu dirahmati Allah …” Amin…:)