Kisah Penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) (1)
Nafsu Makan Lenyap, Lelah Sepanjang Hari
Kantuk yang menyerang Sri Pujiati (38) sebulan yang lalu ternyata bukan sekedar kantuk. Rasa lelah sepanjang hari yang juga dideritanya itu baru gejala awal serangan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Penyakit yang dikenal sebagai si Peniru Ulung tersebut, terus menggerogoti bobot tubuh Sri serta merontokkan helai-helai rambutnya.
INDRI AGUSTINA, Purwokerto
Puji, wanita yang aktif dan produktif, divonis menderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau biasa disebut Lupus saja, 30 Agustus lalu. Bingung, adalah perasaan pertama yang dialami Puji. Selama ini, belum pernah sekalipun ibu dua anak itu mendengar soal lupus, gejala, apalagi pengobatannya. Tidak ada teman-teman sesama ODAPUS (orang dengan lupus-red) yang bisa dijadikannya rujukan untuk bertanya.
Puji akhirnya mendapatkan jawaban dari dokter internist (penyakit dalam-red) yang memeriksanya bahwa lupus merupakan suatu penyakit sistem imunitas/kekebalan, dimana jaringan tubuh dianggap benda asing. Antibodi, yang semestinya melawan virus/bakteri dari luar, malah menghancurkan sel tubuh manusia itu sendiri.
“Saya tidak sampai bertanya terlalu jauh, apakah penyakit ini bisa disembuhkan atau tidak,” katanya sembari menerawang ke langit-langit kamarnya yang sempit.
Wanita yang sudah satu bulan cuti dari pekerjaannya di sebuah stand kosmetik itu, menerangkan, sering diserang rasa kantuk dan lelah. Meski seluruh badannya terasa keju namun Puji tetap memaksakan diri tetap bekerja. Baginya, bekerja bisa melupakan rasa sakit. Toleransi tubuh Puji nyatanya tak mampu bertahan, ia ambruk dan akhirnya harus diperiksakan ke RS. Setelah di cek darah melalui laboratorium yang hasilnya dikirim ke Jakarta, barulah Puji tahu bahwa ia positif lupus.
“Saya lama tidak menstruasi, tapi di USG tidak apa-apa. Setelah cek darah malah yang hasil yang keluar saya kena lupus,” terangnya.
Kini, Puji lebih sering berbaring. Badannya lemas jika terlalu banyak berjalan. Nafsu makannya bahkan sempat menghilang. Ia hanya mampu menelan lima sendok bubur beras, karena jika dipaksakan, sulung dari enam bersaudara itu merasa mual. Praktis bobot tubuhnya yang dulu 60 kg terus menyusut menjadi 55 kg sampai 42 kg sekarang ini.
Saat koran ini beranjak menuju ke meja samping tempat tidur Puji, obat-obat yang diberikan dokter tampaknya nyaris habis. Sayang, Puji sepertinya enggan melanjutkan pengobatan ke Rumah Sakit lagi. Ia memilih melakukan pengobatan alternatif dengan meminum perasan buah mengkudu. Puji mengaku kesulitan biaya berobat. Suaminya hanya pekerja swasta, kedua anaknya masih remaja dan anak-anak dan masih butuh biaya sekolah sementara ibunya seorang janda dari kalangan tidak mampu.
“Kalau mengantri berobat lama. Saya sudah berangkat pagi jam tujuh saja, masih ada yang lebih pagi. Saya tidak tahan menunggu meski duduk di atas kursi roda, nggak kuat,”jelasnya sedih.
Jus mengkudu yang memualkan terpaksa jadi satu-satunya harapan Puji sebagai media pengobatan. Informasi itupun baru ia dapatkan dari tetangga yang sengaja melihatkannya diinternet. Puji mengatakan, jika kondisinya mulai membaik. Rambutnya yang rontok hebat sekarang sudah tidak lagi. Bobot tubuhnya juga mulai bertambah.
“Saya percaya keajaiban dari Allah SWT. Doakan saja supaya saya cepat sembuh. Teman-teman, anak dan suami terus memebri semangat agar saya bertahan,” ungkapnya.
Meski tak mampu lagi kontrol ke RS, Puji berusaha mengikuti pentunjuk dokter agar mengurangi terpapar cahaya surya, lelah, atau stres, sebab sel-sel kekebalan tubuhnya akan menjadi bergerak superaktif. Sel-sel kekebalan yang seharusnya melindungi tubuh itu bisa saja menyerang organ tubuh Puji dibagian mana pun. (bersambung)
Kisah Penderita Systemic Lupus Erythematosus (SLE) (2-Habis)
Masih Awam di Masyarakat, Sifatnya Kambuhan
Sejumlah gejala seperti sakit pada sendi, demam, lelah berkepanjangan, sakit di dada saat tarik napas dalam, dan terutama sakit kepala sebenarnya sudah dialami Sri Pujiati (38) selama bertahun-tahun. Namun, Sri yang yakin dirinya hanya menderita vertigo biasa, ternyata justru baru tahu telah menjadi orang dengan lupus (Odapus) sebulan belakangan.
INDRI AGUSTINA, Purwokerto
Diakui tidak, penyakit lupus memang terdengar asing. Buktinya, Puji sendiri bingung terhadap apa yang dialaminya. Namanya saja penyakit seribu wajah, gejala-gejala yang dirasakan Puji pun seperti gejala penyakit lain yang ia kenal, namun berkepanjangan dan tak kunjung sembuh.
Mengkudu yang dipercaya Puji sebagai obat untuk meneruskan pengobatan dari dokter yang sudah rampung, secara ilmiah sebenarnya juga belum diketahuipasti bisa menyembuhkan penyakit yang dalam bahasa latin berarti serigala itu.
“Mau bagaimana lagi. Biaya berobatnya sudah tidak ada,” kata wanita yang kini tinggal bersama ibunya di Jalan Penatusan 2 RT 03 RW 08 itu.
Di Banyumas sendiri, kasus-kasus penyakit lupus beberapa kali ditemukan namun belum sebanyak thalasemia. Yayasan untuk Odapus sementara ini juga belum terbentuk. Namun, Jika penderitanya makin meningkat, kemungkinan Yayasan bagi Odapus bisa segera dibentuk, demikian penuturan dr Aditiawarman Sp PD dari RSUD Margono Soekardjo.
“Dalam ilmu imunologi atau kekebalan tubuh, pada penderita lupus, tubuh menjadi overacting terhadap rangsangan dari sesuatu yang asing dan membuat terlalu banyak antibodi atau semacam protein yang malah ditujukan untuk melawan jaringan tubuh sendiri,” terangnya. seraya menambahkan, jika para penderita HIV/AIDS kekebalan tubuhnya menurun, maka untuk Lupus, kekebalan tubuhnya justru berlebihan.
Sampai saat ini, menurut Aditia, belum ditemukan apa yang menyebabkan lupus. Diperkirakan penyakit ini sebagai suatu kombinasi dari ketidaksempurnaan gen dan faktor-faktor pemicu. Faktor pemicu tersebut bisa infeksi, antibiotik , sinar ultraviolet, stres, beberapa obat, dan hormon. Faktor hormonal ini dapat menjelaskan mengapa lupus lebih sering muncul pada perempuan dibandingkan dengan pria.
Dari hasil survei yang pernah dirilis oleh Yayasan Lupus Indonesia (YLI) ditemukan, 9 dari 10 odapus adalah perempuan dan berusia produktif, mulai umur 16-60 tahun. Hanya 10% dari odapus memiliki saudara dekat yang juga terkena atau mungkin terkena lupus. Serta hanya 5% saja dari bayi odapus berkemungkinan akan terkena penyakit ini.
Selanjutnya tercantum pula bahwa 5 juta orang di seluruh dunia terkena lupus dan 100.000 kasus baru terjadi setiap tahunnya. Peningkatan angka kematian akibat lupus hampir 60% dalam 20 tahun terakhir. Untuk kasus Indonesia, ada 8.000 odapus yang sebagian besar di pulau Jawa, karena minimnya informasi di daerah lainnya.
“Lupus sifatnya juga kambuhan, ada masa akut namun ada pula masa remisi. Masa remisi adalah masa odapus tidak memerlukan obat. Pada masa ini odapus dalam keadaan stabil. Namun, suatu saat bisa saja lupus kembali aktif,” ujarnya.
Aditia menyarankan, agar pasien lupus rajin memeriksakan diri ke dokter spesialis penyakit dalam agar mudah tertanggulangi. Selain itu, harus rutin meminum obat yang diberikan dokter. Hal lain yang biasanya juga perlu dihindari adalah stress berlebihan, tidak terpapar sinar matahari langsung, mengurangi beban kerja berlebihan dan sebagainya.(habis)
Selamat Jalan Bu, terimakasih sudah berbagi ilmu. Maaf saya tidak sempat mengantar ke peristirahatanmu yang terkahir…maafff..