The show must go on

Terlalu lelah membuatku tidak menyadari suara gemuruh letusan gunung kelud semalam (13/2). Sangat lelap tidurku. Pagi di Puwokerto hujan deras. Cuaca memang mendung. Begitu buka facebook, status bertebaran soal gunung kelud. Ibu di Kebumen juga langsung berkabar kalau suasana jam 6 pagi di Kebumen mirip jam 3 dini hari.

Akibat warung makan terdekat tutup, aku berputar mengelilingi wilayah sokaraja kulon. Mungkin 10 menit berada di jalan. Pulang ke kos, jaketku sudah berlumuran debu. Nasib motorku lebih parah. Hujan membuat debu menempel lebih pekat.

Semakin siang, volume debu menurutku justru bertambah. Paru-paru mulai agak berat untuk bernapas. Meski jendela sudah ditutup, tapi debu tampaknya tetap bisa menerobos kawat lubang udara. Sungguh, membuat nyaris semua orang malas keluar rumah.

Tapi, sebagai pekerja di surat kabar, tidak ada kata libur. Bahkan, ketika wartawanku sedikit mengeluh karena harus liputan dalam kondisi gelap, penuh debu dan jalan licin, aku hanya bisa memberi beberapa alternatif cara untuk memudahkannya. Mungkin toko, sekolah, libur, tapi koran tidak mungkin libur sayang… 🙂 kataku. Kebetulan salah seorang wartawanku di Kebumen mendapat job desk ekonomi bisnis, dan 3 wartawan di Purworejo floating. Aku hanya bisa memberi pesan agar mereka turun ke lapangan dengan prosedur keamanan diri.

Ya, gunung kelud yang jaraknya ratusan kilo dari sini, ternyata bisa “muntah” begitu dahsyat. 13-14 februari 2014 akan dikenang sebagai bencana vulkanik yang cukup parah. Orang bahkan mungkin malah lupa soal valentine 😀 . Sahabatku yang memiliki keluarga yang hanya berjarak 20 km dari gunung kelud, semalam tidak bisa tidur, dan saat ini pasti ingin sekali pulang ke kediri. Selalu ada kesedihan di setiap bencana, dan akan ada kebahagiaan, hikmah setelahnya. Semoga semua tabah menghadapi ujian-NYA. Aamiin

Gambar

tebal debu di kosku di sokaraja kulon

Gambar

wajah motorku, 10 menit di jalan

Gambarini suasana di Kebumen, kampung halamanku. lebih gelap dan penuh abu vulkanik. (foto kiiriman sepupu)

Semoga bencana demi bencana bisa membuat kita mengambil pelajaran atasnya.

….

hujan masih terus jatuh di sore yang nyaris temaram. Tidak ada nyala komputer. listrik padam. Semua pekerjaan terhenti. Seperti biasa, sofa lobi akan penuh dengan kepala-kepala manusia. membentuk lingkaran, merapatkan badan mengusir dingin.bergosip. Ernita menghempaskan pantatnya ke sofa lebih kasar dari biasanya. Wajahnya jauh dari ramah.handphonenya nyaris dibanting ke meja.

“menyebalkan!” dengusnya. aku melirik sebentar, dan kembali pada bacaanku.

“putus ya?” Mba April langsung menyimpulkan.

“nggak, keselll ajaa mbaaa,” mata Ernita membelalak.

“Kenapa?” Prima merapatkan badannya pada Ernita, ingin tahu.

“Berharap laki-laki peka itu impossible..” ucapan Ernita menggantung di udara.

“laki-laki bukan Tuhan, tinggal ngelongok hatimu dari atas aja udah tau isinya apa. Kalau mau peka ya kamu ngomong,” kata mba April, kacamatanya dinaikkan sedikit.

“capek kalau apa-apa bilang, mbok ya menyadari gitu. apa yang kita suka, dan apa yang nggak kita suka,” Ernita mendengus.

“Koki aja ngga tau konsumen suka asin apa manis, dia pakenya resep standar restoran. Apa yang dipikirkan laki-laki kadang beda sama perempuan. berantem dikit, perempuan mikirnya pasti bakal kehilangan atau si cowok udah ngga sayang lagi. kalau laki-laki lebih simpel, ya sekedar bumbu hubungan aja. Besok pasti baik lagi, lupa semuanya,” Mba April beranjak dari duduknya. Menyibak rambut sebahunya. Lalu pergi ke arah dispenser.

“Emang kamu diapain siii say,” Prima menyentuh ubun-ubun Ernita.

“hhhh…Ernita mendesah. berat..

 

Â